PESERTA DIDIK
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah
“Ilmu Pendidikan Islam”
Oleh :
Nur Fauziyah (D03211000)
Miftakhul darussalam (D7321100)
Dosen Pengampu :
Dr. Hanun Asrohah, M. Ag.
PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN
AMPEL
SURABAYA
2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... 1
DAFTAR ISI ..................................................................................................... 2
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ..................................................................... 3
B.
Rumusan Masalah................................................................. 3
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Pengertian Peserta Didik....................................................... 4
B.
Konsep Fitrah........................................................................ 5
C.
Peranan Peserta Didik........................................................ .. 7
D.
Pendidikan Seumur Hidup………………………………… 8
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
......................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Membicarakan peserta didik, sesungguhnya membicarakan tentang hakekat
manusia yang memerlukan bimbingan. Ia juga merupakan salah satu unsur
pendidikan yang mutlak harus wujud di samping pendidik. Undang-undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menjelaskan bahwa peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui
proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Dalam perspektif pendidikan,
termasuk di dalamnya pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek sekaligus
objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain yang disebut pendidik,
untuk membantu mengarahkan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta
membimbingnya menuju kedewasaan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah pengertian peserta didik
dalam pendidikan Islam?
2.
Jelaskan tentang konsep fitrah?
3.
Apakah peranan peserta didik?
4.
Jelaskan mengenai pendidikan seumur
hidup?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
peserta didik
Dalam bahasa arab peserta didik dikenal dengan tiga istilah yang
sering digunakan untuk menunjukkan pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut
ialah murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau
membutuhkan sesuatu, tilmidz yang berarti murid, thalib al-ilm yakni orang yang
menuntu ilmu, pelajar, atau mahasiswa. Dengan kata lain murid adalah salah satu
komponen dalam pengajaran, karena pada dasarnya murid adalah unsur penentu
dalam proses belajar mengajar, tanpa adanya murid sesungguhnya tidak akan terjadi
proses pengajaran, sebab muridlah orang yang belajar untuk
menemukan ilmu. Karena dalam Islam diyakini ilmu hanya berasal dari Allah, maka
seorang peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah
dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya. Namun untuk
memperoleh ilmu yang berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik mesti
belajar pada orang yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau pendidik. Karena
peserta didik memiliki hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki
ilmu, maka seorang peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak
tersebut tentunya tetap mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam
al-Qur’an dan hadis.
Dalam perspektif Undang-Undang sistem
pendidikan nasional no.20 tahun 2003 pasal 1 ayat 4, “Peserta didik diartikan
sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses
pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu”. Berdasarkan
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peserta didik itu memiliki sejumlah
karakteristik,[1]
antara lain:
1.
Peserta didik adalah individu yang sedang berkembang. Artinya peserta didik
tengah mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya secara wajar, baik yang
ditujukan kepada diri sendiri maupun yang diarahinya pada penyesuaian dengan
lingkungannya.
2.
Peserta didik adalah individu yang membutuhkan bimbingan individual dan
perlakuan manusiawi.
3.
Peserta didik adalah individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
Peserta didik
merupakan “raw material” (bahan mentah) dalam proses transformasi dalam
pendidikan.ada dua hal yang penting yang harus diperhatikan oleh pendidik
yaitu: kewajiban peserta didik,
kebutuhan peserta didik, sifat-sifat peserta didik dan
hakikat peserta didik.
B.
Konsep Fitrah
Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik diantara
makhluk Allah yang lain. Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan
rohaniah, yang didalamnya Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang
memiliki kecenderungan untuk berkembang. Dalam pandangan Islam kemampuan dasar
/ pembawaan itu disebut dengan “fitrah” yang dalam pengertian etimologis
mengandung arti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja fatoro yang berarti menjadikan.
Kata fitrah disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 30,
sebagai berikut:
“Maka hadapkanlah wajahmu
kepada agama dengan selurus-lurusnya, (sesuai dengan kecenderungan aslinya),
itulah fitrah Allah, yang Allah menciptakan manusia diatas fitrah itu. Itulah
agama yang lurus, namun kebanyakan orang tidak mengetahuinya.”
Fitrah yang disebutkan dalam ayat tersebut mengandung implikasi
kependidikan yang berkonotasi pada paham nativisme, yaitu suatu paham yang
menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya ditentukan oleh potensi
dasarnya. Proses kependidikan dilakukan sebagai upaya untuk mempengaruhi anak
didik, bukan untuk merubahnya.
Menurut Dr. Moh. Fadhil Al-Djamaly, dengan kemampuan yang ada dalam
diri anak didik yang bersumber dari fitrah itulah, maka pendidikan secara
operasional adalah bersifat hidayah (menunjukkan).[2]
Ø Komponen-komponen Fitrah
·
Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang
terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk berkembang.
·
Potensi Dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral) yang
menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu sama lain
saling mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu.
·
Aspek-aspek fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat
dinamis, responsive terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk lingkungan
pendidikan.
·
Komponen-komponen dasar itu meliputi:
a.
Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu pada
perkembangan kemampuan akademis dan keahlian (professional) dalam berbagai
bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal pada kemampuan Kognisi (daya cipta),
Konasi (kehendak), dan Emosi.
b.
Insting, adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan
tanpa melalui proses belajar. Kemampuan ini merupakan pembawaan sejak lahir.
Jenis-jenis tingkah laku manusia yang digolongkan insting adalah:
ü Melarikan diri karena rasa takut
ü Menolak karena jijik
ü Ingin tahu karena menakjubi sesuatu
ü Melawan karena kemarahan
ü Merendahkan diri karena perasaan mengabdi
ü Menonjolkan diri karena adanya harga diri
ü Menarik perhatian orang lain karena ingin diperhatikan orang lain.
c.
Nafsu dan dorongan-dorongannya. Dalam Tasawuf dikenal adanya nafsu
Lawwamah, yang mendorong ke arah perbuatan mencela dan merendahkan orang lain
(egosentros). Nafsu ammarah (polemos) yang mendorong ke arah perbuatan merusak,
membunuh, atau memusuhi orang lain (destruktif). Nafsu birahi (eros) yang
mendorong ke arah perbuatan seksual. Nafsu mutmainnah (religious) yang
mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
d.
Karakter atau watak tabiat manusia adalah kemampuan psikologis yang
terbawa sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral
dan sosial serta etis seseorang.
e.
Hereditas atau keturunan merupakan faktor kemampuan dasar yang
mengandung ciri-ciri fisiologis yang diturunkan/diwariskan oleh orang tua.
f.
Intuisi adalah kemampuan
psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi menggerakkan hati
nurani manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam situasi khusus di
luar kesadaran akal pikirannya.[3]
C.
Peranan Peserta
Didik
Untuk
mencapai keberhasilan pendidikan diperlukan kerjasama antara pendidik dan peserta
didik. Apabila tidak ada kesediaan dan kesiapan dari peserta didik sendiri
untuk mencapai tujuan, maka pendidikan sulit dibayangkan dapat berhasil.
Al-Ghazali
mengemukakan tugas-tugas peserta didik sebagai berikut:
1.
Menyucikan diri dari akhlak dan sifat
tercela.
2.
Mengurangi berbagai kesibukan duniawi,
atau berkonsentrasi pada belajar.
3.
Murid pemula hendaknya menghindari
pandangan-pandangan controversial.
4.
Tidak meninggalkan satu pun diantara
ilmu-ilmu terpuji.
5.
Belajar hendaknya bertujuan: di dunia
untuk menghiasi batin dengan keutamaan dan di akhirat untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt.[4]
Al-Kanani mengemukakan hal-hal yang
hendaknya diperhatikan oleh peserta didik, sebagai berikut:
1.
Yang berhubungan dengan diri peserta
didik: menyucikan hati dari sifat tercela, niat ikhlas dalam menuntut ilmu,
belajar ketika masih muda, lapang dada terhadap apa yang telah dicapai,
mengatur waktu belajar,dan tidak banyak
tidur.
2.
Yang berhubungan dengan guru: memilih
guru, patuh pada guru, menghormati hak guru, bersabar terhadap guru yang keras,
banyak berterima kasih pada guru, menjaga sopan santun pada guru, dan
memelihara tata karma dalam belajar.
3.
Yang berkenaan dengan pelajaran: memulai
belajar dengan membaca Al-Qur’an, memperhatikan kebenaran, naskah sebelim
dihafal, membuat catatan-catatan, rajin menghadiri kelas, memelihara etika
dalam kelas, tidak malu bertanya, dan memperhatikan kebenaran pelajaran.[5]
Al-Abrasyi
mengemukakan kewajiban-kewajiban yang hendaknya senantiasa diperhatikan setiap
peserta didik sebagai berikut:[6]
1.
Sebelum mulai belajar, peserta didik
hendaknya terlebih dahuku membersihkan hatinya.
2.
Dengan belajar, peserta didik hendaknya
bertujuan mengisi jiwanya dengan fadhillah dan mendekatkan diri kepada Allah,
bukan bertujuan untuk menonjolkan diri, berbangga, dan meraih penghargaan.
3.
Siap menuntut ilmu, sehingga sanggup
bepergian ke tempat-tempat yang jauh.
4.
Hendaknya menghormati dan memuliakan
guru karena Allah, serta berdaya upaya untuk menyenangkan hati guru dengan cara
yang baik.
5.
Bersungguh-sungguh dalam belajar, dan
memanfaatkan waktu siang dan malam untuk memperoleh pengetahuan.
6.
Hendaknya lebih dahulu memberi salam
kepada gurunya.
7.
Hendaknya memilih waktu senja dan
menjelang subuh untuk mengulangi pelajaran. Waktu antara isya’ dan makan sahur
itu adalah waktu yang penih berkah.
8.
Bertekad untuk belajar hingga akhir
ayat.[7]
D.
Pendidikan
Seumur Hidup
Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kepribadian manusia.
Sebagai suatu proses, pendidikan tidak hanya berlangsung pada suatu saat saja.
Akan tetapi harus berlangsung secara berkelanjutan. Dari sinilah muncul istilah
pendidikan seumur hidup (life long education) atau pendidikan terus menerus
(continuing education).
Islam juga telah menggariskan pendidikan seumur hidup. Dalam perspektif Islam, pendidikan seumur hidup didasarkan pada fase-fase perkembangan manusia itu sendiri. Artinya, proses pendidikan itu disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan yang dialami oleh seseorang sampai akhir hayatnya, yakni:
Islam juga telah menggariskan pendidikan seumur hidup. Dalam perspektif Islam, pendidikan seumur hidup didasarkan pada fase-fase perkembangan manusia itu sendiri. Artinya, proses pendidikan itu disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan yang dialami oleh seseorang sampai akhir hayatnya, yakni:
1.
Masa al-Jauin (usia dalam
kandungan).
Masa
al-jauin, tingkat anak yang berada dalam kandungan dan adanya kehidupan
setelah adanya ruh dari Allah swt. Pada usia 4 bulan, pendidikan dapat
diterapkan dengan istilah “pranatal” atau juga dapat dilakukan sebelum ada itu
menjadi janin yang disebut dengan pendidikan “prakonsepsi”. Karena itu, seorang
ibu ketika mengandung anaknya, hendaklah mempersiapkan kondisi fisik maupun
psikisnya, sebab sangat berpengaruh terhadap proses kelahiran dan perkembangan
anak kelak. Pada masa itu hubungan janin sangat erat dengan ibunya, untuk itu
sang ibu berkewajiban memelihara kandungannya, antara lain:
1) Makan makanan yang
bergizi,
2) Menghindari benturan,
3) Menjaga emosi dan perasaan sedih,
4) Menjauhi minuman keras,
5) Menjaga rahim agar jangan terkena penyakit,
2) Menghindari benturan,
3) Menjaga emosi dan perasaan sedih,
4) Menjauhi minuman keras,
5) Menjaga rahim agar jangan terkena penyakit,
Proses
pendidikan itu dilaksanakan dengan secara tidak langsung, seperti berikut:
a) Ibu yang hamil harus
mendo’akan anaknya,
b) Ibu harus selalu menjaga dirinya dengan makanan dan minuman yang halal
c) Ikhlas mendidik anak,
d) Suami harus memenuhi kebutuhan istri,
e) Mendekatkan diri kepada Allah,
f) Kedua orang tua harus berakhlak mulia
b) Ibu harus selalu menjaga dirinya dengan makanan dan minuman yang halal
c) Ikhlas mendidik anak,
d) Suami harus memenuhi kebutuhan istri,
e) Mendekatkan diri kepada Allah,
f) Kedua orang tua harus berakhlak mulia
2. Masa bayi (usia 0-2 tahun)
Pada tahap ini,
orang belum memiliki kesadaran dan daya intelektual, ia hanya mampu menerima
rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya.
Karenanya, dalam fase ini belum dapat diterapkan interaksi edukatif secara
langsung. Proses edukasi dapat dilakukan menurut Islam adalah membacakan adzan
di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri ketika baru lahir, memberi nama
yang baik ketika diaqiqah. Dengan demikian, di hari pertama dan minggu pertama
kelahirannya, sudah diperkenalkan kalimat tauhid, selanjutnya diberi nama yang
baik sesuai tuntunan agama.
3.
Masa kanak-kanak (usia 2-12 tahun)
Pada fase ini, seseorang mulai
memiliki potensi-potensi biologis, paedagogis. Oleh karena itu, mulai
diperlukan pembinaan, pelatihan, bimbingan, pengajaran dan pendidikan yang
sesuai dengan bakat dan minat atau fitrahnya. Ketika telah mencapai usia enam
tahun hendaklah dipisahkan tempat tidurnya dan diperintahkan untuk shalat
ketika berumur tujuh tahun. Proses pembinaan dan pelatihan lebih efektif lagi
bila dalam usia tujuh tahun disekolahkan pada Sekolah Dasar. Hal tersebut
karena pada fase ini, seseorang mulai aktif dan mampu memfungsikan
potensi-potensi indranya walaupun masih pada taraf pemula.
4.
Masa puber (usia 12-20 tahun)
Pada tahap ini, seseorang mengalami
perubahan biologis yang drastis, postur tubuh hampir menyamai orang dewasa
walaupun taraf kematangan jiwanya belum mengimbanginya. Pada tahap ini,
seseorang mengalami masa transisi, masa yang menuntut seseorang untuk hidup
dalam kebimbangan, antara norma masyarakat yang telah melembaga agaknya tidak
cocok dengan pergaulan hidupnya sehari-hari, sehingga ia ingin melepaskan diri
dari belenggu norma dan susila masyarakat untuk mencari jati dirinya, ia ingin
hidup sebagai orang dewasa, diakui, dan dihargai, tetapi aktivitas yang
dilakukan masih bersifat kekanak-kanakan. Seringkali orang tua masih membatasi
kehidupannya agar nantinya dapat mewarisi dan mengembangkan usaha yang dicapai
orang tuanya. Proses edukasi fase puber ini, hendaknya dididik mental dan
jasmaninya misalnya mendidik dalam bidang olahraga dan memberikan suatu
model, mode dan modus yang Islami, sehingga ia mampu melewati masa remaja di
tengah-tengah masyarakat tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam.
5.
Masa kematangan (usia 20-30)
Pada tahap ini,
seseorang telah beranjak dalam proses kedewasaan, mereka sudah mempunyai
kematangan dalam bertindak, bersikap, dan mengambil keputusan untuk menentukan
masa depannya sendiri. Proses edukasi yang dapat dilakukan adalah memberi
pertimbangan dalam menentukan masa depannya agar tidak melakukan
langkah-langkah yang keliru.
6.
Masa kedewasaan (usia 30- …sampai akhir
hayat)
Pada tahap ini, seseorang telah
berasimilasi dalam dunia kedewasaan dan telah menemukan jati dirinya, sehingga tindakannya
penuh dengan kebijaksanaan yang mampu memberi naungan dan perlindungan bagi
orang lain. Proses edukasi dapat dilakukan dengan cara mengingatkan agar mereka
lebih memperbanyak amal shalih, serta mengingatkan bahwa harta yang dimiliki
agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, negara dan masyarakat.[8]
BAB
III
KESIMPULAN
Ø Dalam bahasa arab peserta didik dikenal dengan tiga istilah yang
sering digunakan untuk menunjukkan pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut
ialah murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau
membutuhkan sesuatu, tilmidz yang berarti murid, thalib al-ilm yakni orang yang
menuntu ilmu, pelajar, atau mahasiswa. Dengan kata lain murid adalah salah satu
komponen dalam pengajaran, karena pada dasarnya murid adalah unsur penentu
dalam proses belajar mengajar, tanpa adanya murid sesungguhnya tidak akan terjadi
proses pengajaran, sebab muridlah orang yang belajar untuk
menemukan ilmu.
Ø Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah, yang
didalamnya Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki
kecenderungan untuk berkembang. Dalam pandangan Islam kemampuan dasar /
pembawaan itu disebut dengan “fitrah” yang dalam pengertian etimologis
mengandung arti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja fatoro yang berarti menjadikan.
Ø Untuk
mencapai keberhasilan pendidikan diperlukan kerjasama antara pendidik dan
peserta didik. Apabila tidak ada kesediaan dan kesiapan dari peserta didik
sendiri untuk mencapai tujuan, maka pendidikan sulit dibayangkan dapat
berhasil. Hal ini
dikarenakan, peserta didik memegang peranan sebagai obyek sekaligus subyek
pendidikan. Sebagai obyek, peserta didik menjadi sasaran dari pendidikan.
Sebagai obyek, peserta didik diajak untuk ikut memecahkan berbagai masalah
dalam proses belajar mengajar.
Ø Sebagai suatu proses, pendidikan
tidak hanya berlangsung pada suatu saat saja. Akan tetapi harus berlangsung
secara berkelanjutan. Dari sinilah muncul istilah pendidikan seumur hidup (life
long education) atau pendidikan terus menerus (continuing education). Islam juga telah menggariskan
pendidikan seumur hidup. Dalam perspektif Islam, pendidikan seumur hidup
didasarkan pada fase-fase perkembangan manusia itu sendiri. Artinya, proses
pendidikan itu disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan yang
dialami oleh seseorang sampai akhir hayatnya
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. Tt. Al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa
Falasifatuha.
ttt.:
Dar al-Fikr.
Al-Djamaly, Moh. Fadhil.
1977. Nahwa
Tarbiyatin Mukminatin, Al-Syirkah
Al-Tunisiyah littauzi.
Al-Ghazali. Tt. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Semarang: Toha Putra.
Al-Kanani. Tt. Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab Al-‘Alim wa al-Muta’allim.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Aly, Hery Noer. 1999. Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Arifin, H. M. 1993. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[2] Prof. Dr.
Moh. Fadhil Al-Djamaly, Nahwa Tarbiyatin
Mukminatin, (Al-Syirkah Al-Tunisiyah littauzi, 1977), hal. 14.
[3]H. M.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 100-103.
[4] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Semarang: Toha
Putra, tt.), hal. 49.
[5]Al-Kanani, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab Al-‘Alim wa al-Muta’allim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), hal. 67.
[6] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Falasifatuha,
(ttt.: Dar al-Fikr, tt.), hal. 147.
[7]Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), hal. 129-133.