Rabu, 04 Juli 2012

makalah ilmu pendidikan islam


PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah
“Ilmu Pendidikan Islam”

                                                                                

Oleh :

Nur Fauziyah            (D03211000)
Miftakhul darussalam (D7321100)
                                                                                                                    
Dosen Pengampu :
Dr. Hanun Asrohah, M. Ag.

PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................      1
DAFTAR ISI .....................................................................................................      2
BAB I       :     PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .....................................................................      3
B.     Rumusan Masalah.................................................................      3
BAB II      :    PEMBAHASAN
A.    Pengertian Peserta Didik.......................................................      4
B.     Konsep Fitrah........................................................................      5
C.     Peranan Peserta Didik........................................................ ..      7
D.    Pendidikan Seumur Hidup…………………………………      8
BAB III     :    PENUTUP
A.    Kesimpulan...........................................................................    12

DAFTAR PUSTAKA  .........................................................................................    13

BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Membicarakan peserta didik, sesungguhnya membicarakan tentang hakekat manusia yang memerlukan bimbingan. Ia juga merupakan salah satu unsur pendidikan yang mutlak harus wujud di samping pendidik. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menjelaskan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Dalam perspektif pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek sekaligus objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain yang disebut pendidik, untuk membantu mengarahkan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan.
B.        Rumusan Masalah
1.         Apakah pengertian peserta didik dalam pendidikan Islam?
2.         Jelaskan tentang konsep fitrah?
3.         Apakah peranan peserta didik?
4.         Jelaskan mengenai pendidikan seumur hidup?










BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian peserta didik
Dalam bahasa arab peserta didik dikenal dengan tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut ialah murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu, tilmidz yang berarti murid, thalib al-ilm yakni orang yang menuntu ilmu, pelajar, atau mahasiswa. Dengan kata lain murid adalah salah satu komponen dalam pengajaran, karena pada dasarnya murid adalah unsur penentu dalam proses belajar mengajar, tanpa adanya murid sesungguhnya tidak akan terjadi proses pengajaran, sebab muridlah orang yang belajar untuk menemukan ilmu. Karena dalam Islam diyakini ilmu hanya berasal dari Allah, maka seorang peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya. Namun untuk memperoleh ilmu yang berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik mesti belajar pada orang yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau pendidik. Karena peserta didik memiliki hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka seorang peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya tetap mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis.
Dalam perspektif Undang-Undang sistem pendidikan nasional no.20 tahun 2003 pasal 1 ayat 4, “Peserta didik diartikan sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu”. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peserta didik itu memiliki sejumlah karakteristik,[1] antara lain:
1.         Peserta didik adalah individu yang sedang berkembang. Artinya peserta didik tengah mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya secara wajar, baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun yang diarahinya pada penyesuaian dengan lingkungannya.
2.         Peserta didik adalah individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
3.         Peserta didik adalah individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
Peserta didik merupakan “raw material” (bahan mentah) dalam proses transformasi dalam pendidikan.ada dua hal yang penting yang harus diperhatikan oleh pendidik yaitu: kewajiban  peserta didik, kebutuhan peserta didik, sifat-sifat peserta didik dan hakikat peserta didik.
B.        Konsep Fitrah
Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik diantara makhluk Allah yang lain. Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah, yang didalamnya Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan untuk berkembang. Dalam pandangan Islam kemampuan dasar / pembawaan itu disebut dengan “fitrah” yang dalam pengertian etimologis mengandung arti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja fatoro yang berarti menjadikan.
Kata fitrah disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 30, sebagai berikut:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya, (sesuai dengan kecenderungan aslinya), itulah fitrah Allah, yang Allah menciptakan manusia diatas fitrah itu. Itulah agama yang lurus, namun kebanyakan orang tidak mengetahuinya.”
Fitrah yang disebutkan dalam ayat tersebut mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi pada paham nativisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya ditentukan oleh potensi dasarnya. Proses kependidikan dilakukan sebagai upaya untuk mempengaruhi anak didik, bukan untuk merubahnya.
Menurut Dr. Moh. Fadhil Al-Djamaly, dengan kemampuan yang ada dalam diri anak didik yang bersumber dari fitrah itulah, maka pendidikan secara operasional adalah bersifat hidayah (menunjukkan).[2]
Ø  Komponen-komponen Fitrah
·         Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk berkembang.
·         Potensi Dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral) yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu sama lain saling mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu.
·         Aspek-aspek fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsive terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk lingkungan pendidikan.
·         Komponen-komponen dasar itu meliputi:
a.       Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu pada perkembangan kemampuan akademis dan keahlian (professional) dalam berbagai bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal pada kemampuan Kognisi (daya cipta), Konasi (kehendak), dan Emosi.
b.      Insting, adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan ini merupakan pembawaan sejak lahir. Jenis-jenis tingkah laku manusia yang digolongkan insting adalah:
ü  Melarikan diri karena rasa takut
ü  Menolak karena jijik
ü  Ingin tahu karena menakjubi sesuatu
ü  Melawan karena kemarahan
ü  Merendahkan diri karena perasaan mengabdi
ü  Menonjolkan diri karena adanya harga diri
ü  Menarik perhatian orang lain karena ingin diperhatikan orang lain.
c.       Nafsu dan dorongan-dorongannya. Dalam Tasawuf dikenal adanya nafsu Lawwamah, yang mendorong ke arah perbuatan mencela dan merendahkan orang lain (egosentros). Nafsu ammarah (polemos) yang mendorong ke arah perbuatan merusak, membunuh, atau memusuhi orang lain (destruktif). Nafsu birahi (eros) yang mendorong ke arah perbuatan seksual. Nafsu mutmainnah (religious) yang mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
d.      Karakter atau watak tabiat manusia adalah kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang.
e.       Hereditas atau keturunan merupakan faktor kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri fisiologis yang diturunkan/diwariskan oleh orang tua.
f.       Intuisi adalah kemampuan  psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi menggerakkan hati nurani manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam situasi khusus di luar kesadaran akal pikirannya.[3]
C.       Peranan Peserta Didik
Untuk mencapai keberhasilan pendidikan diperlukan kerjasama antara pendidik dan peserta didik. Apabila tidak ada kesediaan dan kesiapan dari peserta didik sendiri untuk mencapai tujuan, maka pendidikan sulit dibayangkan dapat berhasil.
Al-Ghazali mengemukakan tugas-tugas peserta didik sebagai berikut:
1.      Menyucikan diri dari akhlak dan sifat tercela.
2.      Mengurangi berbagai kesibukan duniawi, atau berkonsentrasi pada belajar.
3.      Murid pemula hendaknya menghindari pandangan-pandangan controversial.
4.      Tidak meninggalkan satu pun diantara ilmu-ilmu terpuji.
5.      Belajar hendaknya bertujuan: di dunia untuk menghiasi batin dengan keutamaan dan di akhirat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.[4]
Al-Kanani mengemukakan hal-hal yang hendaknya diperhatikan oleh peserta didik, sebagai berikut:
1.      Yang berhubungan dengan diri peserta didik: menyucikan hati dari sifat tercela, niat ikhlas dalam menuntut ilmu, belajar ketika masih muda, lapang dada terhadap apa yang telah dicapai, mengatur waktu belajar,dan  tidak banyak tidur.
2.      Yang berhubungan dengan guru: memilih guru, patuh pada guru, menghormati hak guru, bersabar terhadap guru yang keras, banyak berterima kasih pada guru, menjaga sopan santun pada guru, dan memelihara tata karma dalam belajar.
3.      Yang berkenaan dengan pelajaran: memulai belajar dengan membaca Al-Qur’an, memperhatikan kebenaran, naskah sebelim dihafal, membuat catatan-catatan, rajin menghadiri kelas, memelihara etika dalam kelas, tidak malu bertanya, dan memperhatikan kebenaran pelajaran.[5]
Al-Abrasyi mengemukakan kewajiban-kewajiban yang hendaknya senantiasa diperhatikan setiap peserta didik sebagai berikut:[6]
1.      Sebelum mulai belajar, peserta didik hendaknya terlebih dahuku membersihkan hatinya.
2.      Dengan belajar, peserta didik hendaknya bertujuan mengisi jiwanya dengan fadhillah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan bertujuan untuk menonjolkan diri, berbangga, dan meraih penghargaan.
3.      Siap menuntut ilmu, sehingga sanggup bepergian ke tempat-tempat yang jauh.
4.      Hendaknya menghormati dan memuliakan guru karena Allah, serta berdaya upaya untuk menyenangkan hati guru dengan cara yang baik.
5.      Bersungguh-sungguh dalam belajar, dan memanfaatkan waktu siang dan malam untuk memperoleh pengetahuan.
6.      Hendaknya lebih dahulu memberi salam kepada gurunya.
7.      Hendaknya memilih waktu senja dan menjelang subuh untuk mengulangi pelajaran. Waktu antara isya’ dan makan sahur itu adalah waktu yang penih berkah.
8.      Bertekad untuk belajar hingga akhir ayat.[7]

D.       Pendidikan Seumur Hidup
Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kepribadian manusia. Sebagai suatu proses, pendidikan tidak hanya berlangsung pada suatu saat saja. Akan tetapi harus berlangsung secara berkelanjutan. Dari sinilah muncul istilah pendidikan seumur hidup (life long education) atau pendidikan terus menerus (continuing education).
Islam juga telah menggariskan pendidikan seumur hidup. Dalam perspektif Islam, pendidikan seumur hidup didasarkan pada fase-fase perkembangan manusia itu sendiri. Artinya, proses pendidikan itu disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan yang dialami oleh seseorang sampai akhir hayatnya, yakni:
1.      Masa al-Jauin (usia dalam kandungan).
Masa al-jauin, tingkat anak yang berada dalam kandungan dan adanya kehidupan setelah adanya ruh dari Allah swt. Pada usia 4 bulan, pendidikan dapat diterapkan dengan istilah “pranatal” atau juga dapat dilakukan sebelum ada itu menjadi janin yang disebut dengan pendidikan “prakonsepsi”. Karena itu, seorang ibu ketika mengandung anaknya, hendaklah mempersiapkan kondisi fisik maupun psikisnya, sebab sangat berpengaruh terhadap proses kelahiran dan perkembangan anak kelak. Pada masa itu hubungan janin sangat erat dengan ibunya, untuk itu sang ibu berkewajiban memelihara kandungannya, antara lain:
1) Makan makanan yang bergizi,
2) Menghindari benturan,
3) Menjaga emosi dan perasaan sedih,
4) Menjauhi minuman keras,
5) Menjaga rahim agar jangan terkena penyakit,
Proses pendidikan itu dilaksanakan dengan secara tidak langsung, seperti berikut:
a) Ibu yang hamil harus mendo’akan anaknya,
b) Ibu harus selalu menjaga dirinya dengan  makanan dan minuman yang halal
c) Ikhlas mendidik anak,
d) Suami harus memenuhi kebutuhan istri,
e) Mendekatkan diri kepada Allah,
f) Kedua orang tua harus berakhlak mulia
2.   Masa bayi (usia 0-2 tahun)
Pada tahap ini, orang belum memiliki kesadaran dan daya intelektual, ia hanya mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya. Karenanya, dalam fase ini belum dapat diterapkan interaksi edukatif secara langsung. Proses edukasi dapat dilakukan menurut Islam adalah membacakan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri ketika baru lahir, memberi nama yang baik ketika diaqiqah. Dengan demikian, di hari pertama dan minggu pertama kelahirannya, sudah diperkenalkan kalimat tauhid, selanjutnya diberi nama yang baik sesuai tuntunan agama.
3.      Masa kanak-kanak  (usia 2-12 tahun)
Pada fase ini, seseorang mulai memiliki potensi-potensi biologis, paedagogis. Oleh karena itu, mulai diperlukan pembinaan, pelatihan, bimbingan, pengajaran dan pendidikan yang sesuai dengan bakat dan minat atau fitrahnya. Ketika telah mencapai usia enam tahun hendaklah dipisahkan tempat tidurnya dan diperintahkan untuk shalat ketika berumur tujuh tahun. Proses pembinaan dan pelatihan lebih efektif lagi bila dalam usia tujuh tahun disekolahkan pada Sekolah Dasar. Hal tersebut karena pada fase ini, seseorang mulai aktif dan mampu memfungsikan potensi-potensi indranya walaupun masih pada taraf pemula.
4.      Masa puber (usia 12-20 tahun)
Pada tahap ini, seseorang mengalami perubahan biologis yang drastis, postur tubuh hampir menyamai orang dewasa walaupun taraf kematangan jiwanya belum mengimbanginya. Pada tahap ini, seseorang mengalami masa transisi, masa yang menuntut seseorang untuk hidup dalam kebimbangan, antara norma masyarakat yang telah melembaga agaknya tidak cocok dengan pergaulan hidupnya sehari-hari, sehingga ia ingin melepaskan diri dari belenggu norma dan susila masyarakat untuk mencari jati dirinya, ia ingin hidup sebagai orang dewasa, diakui, dan dihargai, tetapi aktivitas yang dilakukan masih bersifat kekanak-kanakan. Seringkali orang tua masih membatasi kehidupannya agar nantinya dapat mewarisi dan mengembangkan usaha yang dicapai orang tuanya. Proses edukasi fase puber ini, hendaknya dididik mental dan jasmaninya misalnya mendidik dalam bidang olahraga dan  memberikan suatu model, mode dan modus yang Islami, sehingga ia mampu melewati masa remaja di tengah-tengah masyarakat tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam.
5.      Masa kematangan (usia 20-30)
Pada tahap ini, seseorang telah beranjak dalam proses kedewasaan, mereka sudah mempunyai kematangan dalam bertindak, bersikap, dan mengambil keputusan untuk menentukan masa depannya sendiri. Proses edukasi yang dapat dilakukan adalah memberi pertimbangan dalam menentukan masa depannya agar tidak melakukan langkah-langkah yang keliru.
6.      Masa kedewasaan (usia 30- …sampai akhir hayat)
Pada tahap ini, seseorang telah berasimilasi dalam dunia kedewasaan dan telah menemukan jati dirinya, sehingga tindakannya penuh dengan kebijaksanaan yang mampu memberi naungan dan perlindungan bagi orang lain. Proses edukasi dapat dilakukan dengan cara mengingatkan agar mereka lebih memperbanyak amal shalih, serta mengingatkan bahwa harta yang dimiliki agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, negara dan masyarakat.[8]





















BAB III
KESIMPULAN
Ø  Dalam bahasa arab peserta didik dikenal dengan tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut ialah murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu, tilmidz yang berarti murid, thalib al-ilm yakni orang yang menuntu ilmu, pelajar, atau mahasiswa. Dengan kata lain murid adalah salah satu komponen dalam pengajaran, karena pada dasarnya murid adalah unsur penentu dalam proses belajar mengajar, tanpa adanya murid sesungguhnya tidak akan terjadi proses pengajaran, sebab muridlah orang yang belajar untuk menemukan ilmu.
Ø  Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah, yang didalamnya Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan untuk berkembang. Dalam pandangan Islam kemampuan dasar / pembawaan itu disebut dengan “fitrah” yang dalam pengertian etimologis mengandung arti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja fatoro yang berarti menjadikan.
Ø  Untuk mencapai keberhasilan pendidikan diperlukan kerjasama antara pendidik dan peserta didik. Apabila tidak ada kesediaan dan kesiapan dari peserta didik sendiri untuk mencapai tujuan, maka pendidikan sulit dibayangkan dapat berhasil. Hal ini dikarenakan, peserta didik memegang peranan sebagai obyek sekaligus subyek pendidikan. Sebagai obyek, peserta didik menjadi sasaran dari pendidikan. Sebagai obyek, peserta didik diajak untuk ikut memecahkan berbagai masalah dalam proses belajar mengajar.
Ø  Sebagai suatu proses, pendidikan tidak hanya berlangsung pada suatu saat saja. Akan tetapi harus berlangsung secara berkelanjutan. Dari sinilah muncul istilah pendidikan seumur hidup (life long education) atau pendidikan terus menerus (continuing education). Islam juga telah menggariskan pendidikan seumur hidup. Dalam perspektif Islam, pendidikan seumur hidup didasarkan pada fase-fase perkembangan manusia itu sendiri. Artinya, proses pendidikan itu disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan yang dialami oleh seseorang sampai akhir hayatnya


DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. Tt. Al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Falasifatuha. ttt.: Dar al-Fikr.
Al-Djamaly, Moh. Fadhil. 1977. Nahwa Tarbiyatin Mukminatin, Al-Syirkah Al-Tunisiyah littauzi.
Al-Ghazali. Tt. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Semarang: Toha Putra.
Al-Kanani. Tt. Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab Al-‘Alim wa al-Muta’allim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Aly, Hery Noer. 1999. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Arifin, H. M. 1993. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.



[2] Prof. Dr. Moh. Fadhil Al-Djamaly, Nahwa Tarbiyatin Mukminatin, (Al-Syirkah Al-Tunisiyah littauzi, 1977), hal. 14.
[3]H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 100-103.
[4] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Semarang: Toha Putra, tt.), hal. 49.
[5]Al-Kanani, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab Al-‘Alim wa al-Muta’allim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), hal. 67.
[6] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Falasifatuha, (ttt.: Dar al-Fikr, tt.), hal. 147.
[7]Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 129-133.
[8]http://www.tuanguru.net/2011/12/pendidikan-seumur-hidup-dalam-pandangan.html/13April2012